Panorama

Gunung menjulang rimba membentang
Hari Esok adalah kepedulian kita hari ini
sudahkah kita peduli ?

Marhaban Ahlan Wasahlan

Selamat datang di halaman rumah mayaku
ketuklah pintu lalu senyum, ucapkan salam lalu nikmati setetes embun pencerahan ini. hanya satu harapan semoga manfaat

Laman

Jumat, 23 Mei 2008

budaya mencontek

Bangkit dari Budaya Mencontek

Oleh :
M. Fadeli
Dosen Komunikasi Fisip Ubhara Surabaya
cak_deli@yahoo.co.id

Salah satu indikator penyimpangan pelaksanaan ujian akhir proses pembelajaran pada level SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA/SMK adalah pertama dilatarbelakangi sebuah sistim evaluasi yang hanya bermuatan kognitif. Kedua pengangungan nilai-nilai ijazah ukuran keberhasilan dalam proses pembelajaran hanya tertumpu pada angka-angka. Dan ketiga adanya stigma di masyarakat bahwa seseorang dikatakan cerdas, pintar jika nilai-nilai raport, ijazahnya tinggi. Oleh karena itu para pengajar, murid bahkan orang tua berlomba-lomba mengupayakan bagaimana anaknya memperoleh nilai tinggi.
Aktifitas menyimpang dalam proses ujian akhir adalah mencontek. Mencontek di tengah masyarakat kita sudah sangat populer, mulai dari pelajar SD, SMP, hingga SMA atau bahkan Perguruan tinggi. Beberapa farian mencontek kita kenal dari yang tersembunyi hingga yang blak-blakan misalnya membuat catatan kecil, melirik pekerjaan teman,tukar menukar jawaban bahkan di era teknologi ini mencontek melalui SMS antar Handphone. Dalam praktek sehari-hari mencontek seakan-akan menjadi sesuatu yang lumrah padahal perbuatan menyontek mendidik perilaku tidak fair. Dikawatirkan sikap mencontek oleh para pelajar dikemudian hari merembes pada sikap tidak mandiri, plagiat, copy paste, menjiplak karya orang dan lain-lain.
Berkaca pada pelaksanaan Ujian Nasional (UNAS) SMP, SMA yang konon merupakan alat ukur peningkatan pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun masih diliputi bau tak sedap kecurangan, baik dilakukan oknum antar murid, oknum guru atau bantuan joki. Setiap tahun selalu ada saja pemberitaan di media massa aksi curang dalam pelaksanaan UNAS. Jika mau jujur pelaksanaan UNAS SMA, SMP yang telah dilaksanakan syarat dengan aksi contek – mencontek yang terselubung.
Indikasi kecurangan dalam pelaksanaan UNAS SMP maupun SMA sebenarnya bukan menjadi rahasia umum lagi, setiap tahun selalu terjadi sepertinya sudah menjadi bahaya “laten”. Menjalar diantara elemen penyelenggara UNAS baik pada lefel pengambil kebijakan hingga pelaksana di lapangan bersinergi agar siswanya lulus 100 persen. Bahkan lebih ekstrim lagi semakin tinggi standart kelulusan semakin tinggi pula angka kecurangan. Jika hal ini berlangsung terus apakah pemerintah masih ngotot menyelenggarakan UNAS, apakah tidak hanya buang-buang duit saja ?.
Bahkan pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Berstandart Nasional (UASBN) bagi siswa SD/MI yang nota bene tidak menentukan kelulusanpun masih diwarnai aksi kecurangan. Seperti yang ditemukan di salah satu sekolahan di kecamatan Bulak Surabaya, dimana telah diketemukan kunci jawaban mata pelajaran Matematika (surya/14/5).
Faktor pendewaan nilai oleh murid, para guru, orang tua maupun masyarakat pada umumnya menyebabkan meningkatnya praktek menyontek. Ironisnya jika ada siswa yang tidak membantu memberikan contekan malah dikucilkan dan jika ada guru yang tidak menfasilitasi aksi percontekan malah dianggap tidak peduli nasib anak bangsa.
Diakui banyak survey menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia memang masih memprihatinkan dibangdingkan Negara tetangga yang konon dulu belajar dari Indonesia misalnya Malaysia. Perubahan secara holistik memang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya kebijakan ujian nasional bukan jawaban tepat untuk menaikkan kualitas pendidikan.
Perubahan mengarah keperbaikan sebenarnya sudah dilakukan dengan perubahan kurikulum, diterbitkannya Undang-undang Sisdiknas, meningkatnya alokasi dana pendidikan di APBN serta kebijakan strategis lainnya. Akan tetapi lagi-lagi pemerintah tidak konsisten, misalnya dalam penerapan Kurikulm KBK dan KTSP dikatakan bahwa ranah penilain tidak hanya terletak ranah kognitif akan tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik. Pada kenyataannya Ujian nasional hanya menilai ranah kognitif saja.
Selain itu dalam proses penilaian ada beberapa hal yang terabaikan misalnya unsur validitas hal ini berkaitan dengan penggunaan alat ukur, missal jika menilai kompetensi praktik mewarna maka sangat tidak valid jika dengan menggunakan alat ukur tes tulis. Kedua reliabilitas, yang terkait dengan keajegan (konsistensi), ketiga menyeluruh yang mencakup seluru domain kompetensi peserta didik. Keempat berkesinambungan, adanya perencanaan , terus menerus dalam penilaian peserta didik, kelima obyektif dimana dalam penialaian harus adil dalam menerapkan kriteria penilaian. Dan yang terakhir adalah mendidik artinya proses penilaian telah mampu memotivasi siswa untuk berkembang lebih baik.
Perilaku mencontek merupakan benih dari penyakit mental yang tidak jujur dan curang hal ini dikawatirkan akan tumbuh kembang menjadi perilaku korup. Penilaian hasil belajar melalui UNAS, UASBN hanya memperhatikan aspek penilaian ekternal saja yang dilakukan Badan Nasional Standarisasi Pendidikan, hal ini sangat menafikan proses penilaian internal. Gurulah yang paling berhak memberikan nilai (internal assessment). Karena gurulah yang paling tahu tingkat pencapaian dan potensi muridnya bukan BNSP.
Melihat budaya mencontek telah berlangsung di segala level pendidikan maka dapat dikategorikan penyakit sosial. Yang sesegera mungkin dilakukan pencegahan secara kolektif antara pemerintah, penyelenggara pendidikan para murid dan orang tua dalam menciptakan pendidikan yang fair. Jika budaya mencontek ini dibiarkan berlarut maka dikemudian hari akan menghasilkan sebuah generasi yang follower, meniru. Cita-cita kemandirian bangsa agaknya masih menjadi persoalan besar, jika sistim ujian akhir nasional selama ini berlangsung berkontribusi penciptaan generasi curang dan tidak mandiri.
Budaya mencontek secara jangka panjang akan menanamkan perilaku dependen, ketergantungan sehingga generasi penerus tidak memiliki daya saing yang kuat ditengah persaingan global. Akankah kita selalu dijajah oleh asing dalam bernagai hal ?. Sudah saatnya kita bangkit dari budaya mencontek, memaknai 100 tahun usia kebangkitan nasional berarti bangkit dari penyakit social berupa perilaku mencontek. Seperti apa yang disampaikan Presiden SBY pada saat peringatan 100 tahun kebangkitan nasional bahwa ada tiga faktor penting yang perlu ditegaskan dalam kebangkitan nasional yaitu kemandirian, daya saing dan peradaban.

Tidak ada komentar: